Belanja pakaian memang menyenangkan karena bisa membuat mood menjadi lebih baik. Apalagi, dengan belanja pakaian bisa membuat mix and match outfit menjadi lebih beragam.
Namun, pernahkah Anda berpikir bahwa kebutuhan sandang atau pakaian bisa membawa dampak buruk bagi lingkungan?
Seperti yang kita tahu bahwa industri fashion terus berkembang mengikuti setiap tren. Faktanya, fast fashion bisa memberikan Anda banyak seklai pilihan pakaian dengan harga terjangkau sehingga bisa menyasar masyarakat lebih banyak dan akhirnya membuat limbah fashion juga terus meningkat.
Terutama jika menggunakan serat sintesis seperti poliester yang merupakan serat plastik yang tidak bisa terurai secara hayati. Poliester membutuhkan waktu hingga 200 tahun untuk bisa terurai. Terlebih lagi, ada sekitar 85% dari sampah tekstil dibuang ke tempat sampah dan laut.
Melihat hal tersebut, Sejauh Mata Memandang sebagai brand fashion yang juga sebagai agen perubahan ingin menjadikannya sebagai brand yang bertanggung jawab pada lingkungan dengan menggelar sebuah pameran yang bertajuk “Sayang Sandang, Sayang Alam” yang disponsori oleh TACO dan juga Ashta District 8. Pameran tersebut berlangsung selama satu bulan dari 6 Maret – 6 April 2021 di Ashta District 8, SCBD, Jakarta Selatan.
Pameran ini juga menggandeng Felix Tjahyadi sebagai konseptor yang juga didukung oleh Lynx Films, Mata Studio, Magnifique, Davy Linggar, Wardah, Pable Indonesia, Syah Establishment, dan Greenpeace sebagai NGO partner.
Terkait dengan sampah tekstil, Sejauh Mata Memandang menggerakkan sebuah kampanye #sejauhmanakamupeduli yang mengajak seluruh masyarakat bisa peduli terhadap lingkungan yang bisa dirusak oleh limbah fashion. Kesadarannya tersebut bisa berupa memilih serat alami untuk tekstil, lebih sedikit berbelanja, menjaga kualitas produk fashion agar lebih lama sampai membeli produk yang mempunyai konsep daur ulang.
Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto menuturkan bahwa memang fashion menjadi salah satu penyumbang polutan sampah terbesar. Karena nyatanya, 95% sampah tekstil yang terbuang, sebenarnya bisa didaur ulang atau didayagunakan kembali menjadi benda yang lebih berfungsi.
“Sebagai merek fesyen dengan konsep slow fashion, salah satu cara kami mengurangi sampah tekstil, adalah dengan menciptakan sandang dari bahan yang dapat terurai, memanfaatkan sisa kain produksi, melakukan program daur ulang dan modifikasi nilai guna dari kain. Komitmen ini merupakan langkah nyata kami untuk mengajak konsumen membantu menyelamatkan lingkungan kita,” ujarnya.
Terdapat beberapa area menarik yang ada di pameran “Sayang Sandang, Sayang Alam”, diantaranya ada area fakta mengenai sampah teksil, video informatif dan visual berdasarkan hasil kolaborasi dengan Greenpeace, Davy Linggar, Dian Sastrowardoyo, Tulus, Gustika Hatta, dan Mesty Artiariotedjo.
Ada pula Kios Sejauh yang menjual produk-produk daur ulang dengan kualitas yang ciamik, Produknya pun sangat beragam, dar mlai tas serba guna, selop, aneka bantal, masker kain, topi dan juga koleksi pakaian daur ulang.
Tidak hanya itu, terdapat kotak penyaluran sampah tekstil yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendonasikan pakaian agar nantinya bisa didaur ulang. Pakaian yang sudah tidak layak pakai akan didaur ulang menjadi benang dan akan berubah jadi kain baru. Gerakan ini bekerja sama dengan Pable Indonesia. Khusus untuk pakaian yang masih layak pakai, akan dipilih dan didayagunakan kembali atau bahkan disumbangkan bagi yang membutuhkan. Kegiatan ini didukung oleh Wardah dan Syah Establishment.
Meski menjadi salah satu faktor pembangun ekonomi terbesar, nyatanya fashion juga sekaligus menjadi penyumbang sampah tekstil terbesar. Tentunya hal ini adalah tantangan bagi semua orang yang bergerak di industri fashion untuk bisa menjadi lebih bertanggung jawab. Sejauh Mata Memandang ingin bisa membuat perubahan dan juga dukungan lewat adanya pameran ini.
“Mewujudkan perubahan ini, SMM berkomitmen sebagian dari penjualan akan disumbangkan untuk mendukung beberapa organisasi melalui kemitraan kolaboratif. Memperkuat dampak dana pada skala global sambil mendukung komunitas lokal di daerah rawan,” tutup Chitra.
(AA)