Lebih dari 90% korban deepfake adalah perempuan, yang menjadi sasaran pelecehan seksual online atau pelecehan melalui pornografi deepfake nonconsensual. Motifnya berkisar dari “porno balas dendam” hingga pemerasan.
Deepfake yang menargetkan politisi atau wacana politik berkurang 5% dari yang beredar di dunia maya.
Pengacara firma hukum internasional DAC Beachcroft di London sekaligus pakar deepfake, Farish percaya bahwa regulasi deepfake tidak sesuai dengan tujuan untuk melindungi perempuan dan dia mempelopori upaya solusi.
“Masalah mengatur deepfake benar-benar bermuara pada ketegangan antara ekspresi dan regulasi. Kecuali ada kerugian khusus seperti pencemaran nama baik, penipuan atau eksploitasi anak. Anda benar-benar tidak dapat mengendalikannnya,” bebernya.
Maksudnya, perlu memperhatikan betul video yang beredar sebelum menyimpulkan secara pihak.
Farish menyampaikan kepada The European Parliament’s Science and Technology Options Assessment Panel tentang seperangkat aturan baru yang komprehensif untuk semua layanan digital di UE, termasuk media sosial, pasar online, dan platform online lainnya di bawah Undang-Undang Layanan Digital dan Pasar Digital.
Farish percaya dari perspektif hukum bahwa langkah penting dalam melawan deepfake pornografi nonconsensual adalah dengan mengakui hak kepribadian digital, sebuah langkah yang memerlukan dukungan dari sosial. perusahaan media.
“Seseorang harus dapat menjalankan otonomi dan agensi atas kesamaan mereka dalam ekosistem digital tanpa perlu pemicu privasi atau kerusakan reputasi atau kerusakan finansial. Di dunia yang ideal, siapa pun harus bisa menghapus gambar yang tidak mereka setujui,” tegas Farish dikutip dari dacbeachcroft.com.
“Ini adalah masalah gender dan berbicara tentang masalah yang lebih luas dalam mengeksploitasi citra orang-orang yang rentan, apakah mereka perempuan atau anak-anak. Jadi hak kepribadian digital perlu diseimbangkan dengan jurnalisme dan pertimbangan kebebasan berbicara lainnya, ”pungkasnya.