Indonesia adalah negara hukum. Belum selesai dengan Asap Kebakaran Hutan, RUU KPK, dan Papua kali ini muncul Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang di anggap merugikan nasib korban perkosaan yang tengah hamil.
Perempuan berusia 16 tahun menjadi korban perkosaan oleh tujuh laki-laki di Padang, Sumatera Barat. Namun, yang menjadi masalah adalah perempuan tersebut akan terkena pasal RKUHP jika dia menggugurkan. Hal ini berpotensi menjerat korban yang melakukan aborsi.
Rancangan teranyar RKUHP mencantumkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun.
Saat ini Korban yang mengalami trauma berat tengah mengandung lima bulan.
Korban terpaksa berhenti sekolah, ia mengundurkan diri karena perutnya sudah terlihat membesar.
Memang, nyatanya menggugurkan itu salah dan akan beresiko bagi si Ibu. Namun, bagaimana jika keadaannya ‘terpaksa’ dan akan menganggu mental bagi si Ibu dan anak?
Untuk kasus perkosaan sendiri, Undang-undang Kesehatan tidak mengizinkan menggugurkan kandungan yang sudah lebih dari 6 minggu.
Sejumlah aksi demo dan tagar ramai diperbincangkan, melalui aspirasi melalui poster dan juga netizen di media sosial menunjukan bahwa penghentian kekerasan seksual sedang berada di titik lemah.
“Ngga setuju sama menggugurkan kandungan, padahal melakukannya berdasarkan suka sama suka… tapi kalau casenya begini, yg mau kasi makan anaknya siapa? Yg mau melihara siapa? Disaat seorang perempuan belum siap secara mental dipaksa memelihara anak, bagaimanakah nanti mental si anak.. :’) #miris” saut komen netizen yang sudah di like 609 orang pada post akun @lawanpatriarki di Instagram.
(Penulis: ZK)